Kamis, 06 Januari 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN RA’YU (Bahan Hukum Islam )

Pendahuluan

Setiap istimbath (pengambilan hukum) dalam syariat islam harus berpijak pada Al-Qur’an al karim dan sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada tiga macam yaitu nash dan ghairu nash. Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan, pada hakekatnya digali bersumber dan berpedoman pada nash adalah menjadi keharusan bagi seorang ahli hukum (faqih) untuk mengetahui prosedur cara penggalian hukum dari nash.

Cara penggalian hukum dari nash ada dua pendekatan yaitu : pendekatan makna (turuq maknawiyah) dan pendekatan lafadh (lafdhiyah). Pendekatan makna adalah (istidlal ) penarikan kesimpulan hukum bekan kepada nash langsung seperti menggunakan istihan, maslahatul mursalah dan saddud darai’, sedangkan pendekatan lafadh penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafazh-lafazh nash serta konotasinya dari segi umum dan husus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafzdy ataukah termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan hukum yang diambil dari konteks kalimat, mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarat-ibarat nash kemudian pengertian yang dapat dipahai dari lafazh nash apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama’ ushul telah membuat metodologi husus dalam bab “mabahis lafzdiyah” (pembahasan lafazh-lafazh nash).

Ahlur Ra’yu pada masa Rasulullah SAW

Penentuan hukum pada periode Rasulullah mempunyai dua sumber :

1. Wahyu Ilahi

2. Ijtihad Rasulullah sendiri

Kalau terjadi suatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum sebab ada perselisihan, suatu pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada RasulNya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya, lalu Rasulullah menyampaikan kepada umat islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib diikutinya.

Dan kalau muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasul ayat Al-Qur’an yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka rasulullah menunggu sampai wahyu itu turun, jika wahyu tersebut tidak diturunkan oleh Allah, maka Rasulullah berijtihad sendiri untuk mengetahui ketentuan hukumnya.

Dan hal-hal lainnya yang menjadi sebab-sebab turun ayat Al-Qur’an. Dan barang siapa yang mau meneliti hadist-hadist hukum, dan sebab-sebab datang hadist yang diriwayatkan oleh ahli hukum hadist, akan jelas baginya bahwa setiap ketetapan hukum oleh Rasulullah dari hasil ijtimadnya adalah merupakan penyelesaian terhadap suatu persengketaan, yakni merupakan suatu fatwa hukum atas suatu peristiwa atau sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan.

Setiap hukum yang disyariatkan pada periode Rasulullah itu sumbernya dari wahyu ilahi atau ijtihad nabi, dan munculnya hukum itu berdasarkan datangnya keperluan hukum yang dibutuhkan untuk itu. Tugas Rasul sehubungan dengan apa yang disyariatkan oleh sumber yang pertama (Al-Qur’an) adalah menyampaikan serta serta menguraikan karena hal ini merupakan perintah dari Allah.

Adapun sesuatu yang berasal dari sumber yang kedua yaitu ijtihad nabi, kadang-kadang merupakan pengungkapan manisfestasi dari ilham Allah, artinya bahwa sewaktu nabi melakukan ijtihadnya, maka allah mengilhamkan kepada beliau hukum persoalan yang hendak diketahui ketentuan hukumnya.

Ahli Ra’yu Pada Periode Sahabat

Periode ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah, periode ini disebut dengan peride sahabat karena kakuasaan perundang-undangan dipegang oleh para tokoh sahabat Rasulullah, periode ini adalah penerangan undang-undang dan terbukanya pintu-pintu penggalian hukum terhadap peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya (yang jelas), dan tokoh-tokoh sahabat pada masa ini timbul banyak pendapat dalam mengiterprestasi nash-nash hukum Al-Qur’an dan As sunnah, dan dari beliau-beliau itu timbul fatwa-fatwa hukum dalam berbagai masalah yang tidak ada nashnya, yang kemudian bisa dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dan mengambil suatu hukum.

Sumber perundang-undangan pada periode ini ada tiga macam :

1. Al-Qur’an

2. As-sunnah

3. Ijtihad sahabat

Oleh sebab itu kalau timbul suatu kejadian baru atau terjadi suatu persengkaetaan, maka para ahli fatwa dari kalangan sahabat melihat dulu ketentuan hukumnya dalam kitab Allah. Kalau mereka menemuai nash yang menunjukkan hukumnya maka mereka melaksanakan hukum tersebut. Kalau mereka tidak menemuai dalam al qur’an tetapi mereka temui dalam as sunnah maka mere juga melaksanakan hukum itu.

Kalau mereka masih tidak menemui ketentuannya baik dalam al qur’an maupun as sunnah, baru mereka berijtihad untuk mengetahui hukumnya yakni beristinbat dengan cara mengqiaskan/mengambil persamaan illat/sebab pada peristiwa yang baru terjadi itu dengan peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya.

Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum penekanannya terlatak pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Teori yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau hadist)nya secara khusus, dapat diketahui melalui :

1. Ijma’

Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly), para ulama telah bersepakatan bahwa ijma’ dapat dijadikan argumantasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.

Ijma’ merupakan suatu dalil syara’yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadist), sehingga dapat dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Jumhur ulama’ berpedapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah berdasarkan firman Allah Surat An nisa’ : 151. dalam ayat ini menjelaskan bahwa mengikuti jalan yang bukan jalannya orang mukmin adalah haram. Jika mengikuti jalannya orang selain mukmin haram berarti mengikuti jalannya orang mukmin adalah wajib.

2. Maslahah al Mursalah

Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemadorotan dalam rangka memalihara tujuan-tujuan syara’. Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan diatas, maka di namakan maslahah. di samping itu upaya untuk menolak segala bentuk kemadaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.

3. Qiyas

Qiyas adalah menerangkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam al qur’an dan hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Contohnya seperti narkotik, heroin sabu-sabu dan lain sebagainya, dalam menghukumi masalah ini dengan cara mengqiaskan pada hukum orang yang meminum khamer, karena sama-sama memabukkan.

Ahli Ra’yu Pada Periode Tabiin sampai pertengahan abad IV

Sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat :

1. Al Quran

2. as Sunnah

3. Al Ijma’

4. Ijtihad dengan jalan Qiyas, maslahah mursalah

Seorang mufti kalau sudah menemui nash dari al-Qur’an atau as Sunnah yang menunjukkan hukum yang dimintakan fatwa hukumnya, dia tentu berpegang pada nash tersebutdan tidak mau melampau hukumnya. Kalau dia tidak menemuai nashnya tetapi dia mengetahui ulama’ salafnya dari para mujtahid sudah berijma’ mengenai peristiwa ini tentang ketentuan hukumnya, maka dia akan mengamalkannya dan memberi fatwa hukum berdasar ijma’ salaf tersebut.sedang kalau dia tidak mendapati nash tentang peristiwa tersebut dan tidak pula mendapati ijma’ ulama’ tentang hukum yang dimaksud, barulah ia berijtihad dan beristinbat, dengan jalan yang sudah di tunjukkan oleh syari’ yaitu dengan cara Istihsan dan Fatwa-fatwa Sahabat.

Penutup

Istinbath hukum Islam selalu mengalami perkembangan, bahkan sampai saat ini masih banyak fatwa-fatwa para ulama’ hasil dari ijtihad mereka sendiri dan dengan metode mereka sendiri yang beredar di masyarakat sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun bukan berarti hukum Islam sekarang sudah tidak mempunyai kekuatan lagi.

Tidak ada komentar: